Garut : The Story of Papandayan Mountain


Jumat sore itu hujan deras mengguyur Bogor, maklum sekarang lagi musim hujan. Hampir setiap pukul 4 sore hujan terus saja menyapa, biasanya barulah reda hingga pukul 7 malam. Langit nampak cerah setelah hujan, senja kuning melempar senyum terbaiknya menyambut kami keluar dari kampus, Praktikum Plant Metabolism di Laboratorium Fisiologi IPB Dramaga telah selesai. Jumat adalah hari yang melelahkan, sebab aktivitas kuliah bermula pukul 8 pagi dan barulah selesai pada pukul 6 sore.

Setiap hari senja selalu saja memiliki cerita berbeda sejak kami memulai kuliah di Institute Pertanian Bogor. Kadang ceritanya penuh dengan kelelahan, Kadang juga banyak mengucap syukur karena telah selesai menjalani hari ini dengan senyum, dan lebih sering lagi kami mengevaluasi diri karena kesalahan yang dibuat, berharap esok tak salah lagi. Hari ini ceritanya lain, kami melupakan kelelahan, bersyukur karena Jumat yang panjang telah lewat dan kami akan pergi menyegarkan tubuh kami.

Aku bertemu Etha dan Tantri di sebuah rumah kos di Babakan Raya IV, tepat dibelakang Kampus IPB Dramaga empat bulan lalu. Saat itu mereka berdua masih menggunakan Bahasa Melayu berbicara denganku, mereka dari Kalimantan Barat, mayoritas masyarakatnya munggunakan Bahasa Melayu untuk komunikasi sehari-hari.

Mereka bercerita banyak tentang Kalimantan Barat, yang tegakan hutan Merantinya telah berganti dengan tegakan pohon Sawit. Mereka menyukai hutan, begitupun dengan ku. Mereka berdua adalah sahabat dekatku, kami sering berbagi cerita hingga larut malam, dan tiba-tiba tertidur. Mengerjakan tugas, laporan praktikum dan belajar untuk ujian hingga subuh menjelang, terkadang sampai lupa untuk tidur.

Mungkin, karena kami orang Kalimantan, tempat hutan hujan tropis terbesar di dunia tumbuh subur, hingga kami tidak tahan untuk berlama-lama di Kota dan rindu akan  hutan. Senja Jumat 20 November 2014, kami bergegas mendatangi stasiun kereta, untuk pergi keterminal Kampung Rambutan bertemu dengan kawan-kawan lainnya yang akan mendaki Gunung Papandayan di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Pendakian pertama bagi mereka berdua dan kedua bagiku, yang sudah lama merindukan sepoi angin dari puncak gunung, dan ramahnya siulan burung di dahan pohon.
 
Camp David
Tentang Papandayan
Gunung Papandayan (2665 m dpl) adalah sebuah gunungapi aktif strato tipe A yaitu gunungapi yang pernah meletus setelah tahun 1600, erupsi yang pernah terjadi di gunungapi Papandayan tercatat pada tahun 1772 yang menelan korban jiwa sekitar dua ribu jiwa dan melenyapkan banyak sekali perkampungan di sekitar wilayah gunung Papandayan. Gunung api ini terletak ±20 km di baratdaya Garut, Ibu Kota Kabupaten Daerah Tingkat II Garut. Propinsi Jawa Barat.  Letusan yang terjadi tahun 1772 ini merupakan kegiatan erupsi yang besar dimana sebagian dari puncak gunung dilontarkan dan melanda daerah seluas lebih kurang 250 km, kegiatan tersebut diawali dengan dimuntahkannya api yang sangat besar, dan erupsi ini terjadi di kawah sentral. Awan panas meluncur ke arah timur laut dan sebagian besar dari bahan erupsi dialirkan oleh sungai Ciparugpug dan Cibeureum ke arah hilir[1].

Pada gunung api ini terdapat 4 kawah besar yaitu : Kawah Tegal Bungbrung, Kawah Tegal Alun-alun, Kawah Pangpug, dan Kawah Mas. Dari empat kawah tersebut, Kawah Maspaling aktif hingga saat ini yang mengepulkan asap putih tebal dan menghasilkan endapan belerang. Dari beberapa lubang solfataryang ada terdengar suara desis (blazer) yang cukup kuat dalam komplek Kawah Mas ini terdapat kawah-kawah lainnya seperti Kawah Nangklak dan kawah Baru.

Periode letusan G. Papandayan berkisar antara 1 dan 151 tahun, setelah meletus pada tahun 1772, letusan berikutnya adalah tahun 1923. Setelah letusan 1923, ritme letusan semakin sering, yakni pada tahun 1924, 1925, dan terakhir pada tahun 1926. Setelah tahun 1923, tidak terjadi lagi letusan dari Kawah Mas (kawah pusat termuda G.Papandayan), lalu pada tahun 1927 tanggal 16 - 18 Februari terjadi kenaikan kegiatan di kawah Mas dan sampai sekarang masih terjadi kepulan asap fumarola dan solfatar serta bualan lumpur air panas.

Tahun 1942, tanggal 15 - 16 Agustus lahir lubang erupsi baru, 1993 Pada tanggal 17 Juli terjadi ledakan lumpur di kawah Baru, 1998 Bulan Juni terjadi aktifitas vulkanik yang cukup berarti, dengan terjadinya peningkatan jumlah gempa menurut catatan seismik, juga terjadinya semburan lumpur dan gas pada lubang fumarol kawah, yaitu pada kawah Mas, yang mencapai ketinggian kira-kira lima meter.

Hingga terakhir pada tahun 2002 Dimulai pada tanggal 11 November terjadi peningkatan aktifitas vulkanis di gunungapi Papandayan, erupsi yang besar terjadi di gunungapi Papandayan mulai 13 - 20 November, aktifitas menurun hingga tanggal 21 Desember, akibat dari erupsi ini terjadi longsoran pada dinding kawah Nangklak dan banjir disepanjang aliran sungai Cibeureum gede hingga ke sungai Cimanuk sejauh 7 km, merendam beberapa unit rumah dan menyebabkan erosi besar sepanjang alirannya[2].

Tantri, Etha, Sarah


Menengok Papandayan
Dari Kampung Rambutan kami menumpangi bus jurusan Garut, perjalanan 6 jam untuk sampai keterminal Garut, kami berangkat pada malam hari, hingga tak terasa kami sampai sudah subuh. Setibanya di terminal Garut, romobongan mencari mushola untuk tempat israhat dan berdoa. Barulah kusadari bahwa teman-temanku mendaki kali ini berjumlah  25 orang, 11 laki-laki dan 14 perempuan.

Sholat subuh telah didirikan, doa telah dipanjatkan istrahat sudah cukup untuk perjalanan 6 jam dari Kampung Rambutan, Jakarta. Saatnya kami melanjutkan perjalan menuju kampung Cisurupan, kaki gunung Papandayan wadah bermukimnya orang-orang Sunda. Sebuah angkutan kota bermuatan 10 orang yang mengantarkan kami selama kurang lebih 2 jam perjalan, alun-alun kampung Cisupan menyambut dengan lapang dada.

Dahan pohon Pinus[3] melambai, daunnya yang mirip rambut mengibas lembut tertiup angin,dari arah gunung, pohon satu dan yang lainnya saling bergesekan menciptakan suara riuh seolah berkata “bergegaslah untuk melihat Papandayan, dimana aku di lahirkan, airnya mengalir disetiap persendianku, tanahnya menghidupiku, memperkokoh akar dan batangku, hawa sejuk menyelimuti setiap saat”.

Petaninya rajin, buah-buahan dan sayur-sayuran tumbuh subur. Papandayan adalah surga yang diberikan tuhan untuk sepetak kampung kecil penghasil sayur-mayur Kabupaten Garut. Tengok saja keluar jendela, puluhan buah labu siam bergelantungan pada rangka bambu, cabai berwarna merah merata di kebun belakang rumah, kol-kol putih sedang di cabuti dari batang kecilnya oleh tangan kokoh para ibu dan para bapak sibuk mengemasnya kedalam karung plastik unggu terang, kol siap untuk dipasarkan.

Kami turun dari angkutan dan berpindah menggunakan pick up, untuk sampai ke Camp David. Jalannya menanjak, pick up yang kami tumpangi ngosngosan membawa 12 orang perempuan dan 10 tas besar. Camp david adalah pos pertama, untuk memulai pendakian.

Gunung ini sungguh berbeda jauh dari bayanganku, hampir semua fasilitas umum tersedia, toilet, kamar mandi dan mushola. Warung-warung makanan berbaris rapi, tentu diantara warung tersebut terselip juga penjual sovenir bertuliskan Gunung Papandayan 2665mdpl. Tidak seperti Rinjani, dia tidak memiliki fasilitas umum dipos awal pendakian, apalagi warung makanan dan penjual souvenir.

Pendakian
Pendakian dimulai, kami disambut jalan datar sedikit berbatu, pohon Cantigi berbaris rapi bagai pagar ayu. Sepuluh menit awal perjalanan kami menemui tanjakan kecil dan batu berlapis belerang. Ku tengok kearah belakang sudah ada satu teman yang tak mampu membawa tas barang bawaannya, terpaksa teman yang lainnya membantu membawakan hingga sampai ke camp perkemahan. Perjalanan aku teruskan, dengan 3 orang teman lainnya.  

Bagiku mendaki gunung adalah belajar bertanggung jawab pada diri sendiri, belajar untuk bisa mengukur dan menetapakan target juga kebutuhan ku hingga tidak ada orang yang akan di rugikan, mencoba keluar dari zona nyaman yang selama di dataran aku rasakan. Sabar dan tabah mengalahkan diri sendiri, dari kegoisan. Rendah hati untuk banyak bersyukur kepada tuhan hingga detik ini masih diberikan umur untuk melihat ciptaanya. Ada banyak teman yang akan ditemui di gunung, memiliki tujuan dan visi misi yang sama, mengalahkan diri sendiri, keluar dari zona nyaman dan bertanggu jawab. Mereka ramah dan mudah berbagi dengan sesama pendaki.

Kami sampai di Kawah Papandayan, bau belerang menyengat hingga terasa sesak untuk bernafas. Asapnya mengepul tebal, angin berhembus kearah ku, asap belerang itu menyentuh mataku, perlahan air mataku keluar, mataku memerah perih. Bergegas langkah kupercepat agar jauh dari tempat itu.

Tak lama, kami tiba di hutan kecil, tumbuh didalamnya pohon Cantigi[4] berpucuk merah, batangnya yang hitam dan akarnya yang kokoh tertanam rapi didalam tanah, di sekelilingnya tumbuh paku-paku kecil dan paku pohon yang sudah hampir tak terlihat di desa. Sungai dengan aliran air yang kecil berada di ujungnya,       

Lereng gunung di pungung Papandayan menampakan hamparan pohon Cantigi, yang menutupi seluruh permukaan tanahnya, celah kecil wadah air mengalir membuat garis lurus ditengah hutan itu. Kabut awan menutupi puncak gunung yang berdiri dengan gagahnya disebelahnya ada dua gunung kecil yang menemaninya. Di tebing gunung kuliah koloni lumut berwarna merah darah tumbuh subur, tak banyak kutemukan koloni ini hidup di lokasi lainnya. Sepertinya lumut hati, dari keluarga Bazzaniaceae.  

Pos dua, tempat kami melapor untuk berkemah di Pondok Seladah telah kami sapa. kami beristirahat lima menit untuk meratakan pinggang, dan mengisi air minum.  Pondok seladah 30 menit dari pos ini, tak satupun temanku terlihat menysul langkah kami bertiga, rupanya mereka jauh tertinggal dibelakang. Kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan, melewati hutan Cantigi lagi. Namun kali ini lebih indah dan sejuk didalamnya, jalannya datar sedikit menanjak. Pemadangan dari tempat ini lebih indah daripada yang sebelumnya aku lewati, disinilah Palawangan Rinjani yang ku rindukan aku temui. Melihat hamparan pohon-pohon cantigi yang mendaki hingga kepuncak gunung, air mengalir disungai kecil, dan kawah Papandayan yang telah membuat air mataku keluar, gunung-gunung berbaris rapi dan burung-burung berkicau di dahan-dahan si cantigi. Angin sejuk mengeringkan peluh yang jatuh didahiku.          

Aku terkejut ketika sampai di Camp Seladah, sudah berdiri rapi banyak warung makan, satu mushola dan tiga toilet ditempat ini. Belum lagi bir bintang dan cilok juga tersedia disini. Perasaanku berubah, setelah melihat itu, sedikit kesal namun juga takjub, demi menghidupi keluarganya suami istri yang kusinggahi warungnya terpaksa berjualan disini. Kadang mereka tak tahan dengan dinginnya Camp Seladah, jika hujan datang warung mereka bocor, pastilah air masuk dan akan menambah dingin.

Tenda kami dirikan tepat dibawah naungan pohon Cantigi, disebelah tenda tumbuh rumpun-rumpun bunga Edelweis yang belum mekar. Tenda kami 8 buah, karena kami 25 orang. Dapur kami letakan dibagian tengah tenda, hingga siapapun bebas menggunakannya. Kuning, merah, biru dan ungu warna-warna dominan yang menghiasi Camp Seladah. Dapur kami kecil, hingga hanya beberapa orang saja yang bisa duduk disana untuk memasak. Yang lainnya beristirahat dan mengambil air.

Makan siang berakhir, kami bersiap menuju Tegal Alun puncak Papandayan, Tegal Alun adalah padang bunga Edelweis tumbuh, luasnya kurang lebih 10 hektar. Cuaca mudah berubah ditempat ini. Tiba-tiba panas dan tiba-tiba hujan datang, wajar karena bulan ini adalah musim hujan. Hampir tidak ada yang sampai ke puncak Papandayan, Tujuan para pendaki hanya sampai Tegal Alun. Beberapa kali pernah ada yang nekat untuk sampai kepuncak, tapi tak pernah kembali lagi ke perkemahan, satu minggu kemudian mereka ditemukan tewas digunung lainnya, tutur penjaga Camp kepadaku.

Tim Tanpa Jarak
Malam di Camp David

Hutan mati salah satu daya tarik Papandayan, pohon Cantigi yang mati secara serentak karena paparan belerang yang keluar dari kawah sepanjang tahun membuat fisiologi tumbuhan ini tidak dapat berfungsi dengan baik, hingga menyebabkan kematian. Luasnya lebih dari 20 hektar, tanahnya putih berbatu dan berapsir. Kami berada tepat diatas kawah, pagi itu matahari tak menampakan wajahnya. Ia malu-malu dan bersembunyi dibalik awan putih. Dinginnya malam tak terobati dengan sinarnya.

Walau semalam kulihat langit penuh dengan bintang, sama seperti di Rinjani iya mengalir bagai air sungai yang tenang, berkelip genit. Pagi ini tak kutemui yang kurindukan, melihat sang surya bangun dari tidurnya, dengan wajah kucel menghangatkan para pendaki, yang keluar dari zona nyaman mencoba melihat embun jatuh dari helaian daun dan sang bunga abadi bermekaran dipagi hari.

Pukul 10 pagi kami putuskan untuk menuruni gunung, tubuh kami telah segar, fikiran lebih rileks dan semangat baru untuk mendaki gunung lainnya lahir. Saatnya kembali ke kedataran untuk belajar, bekerja dan mengabdi pada masyarakat. Setiap tempat digunung mempunyai cerita berbeda, namun memberikan pelajaran yang sama. Membuat kita tahu bahwa keluar dari zona nyaman yang selama ini kita rasakan dibawah gunung adalah pelajaran yang paling berharga, mengahargai alam dan mencoba rendah hati memanfaatkannya. Berhenti untuk mengeksploitasi mulai dari sehelai daun yang menemani sepanjang perjalanan, hingga kita bertemu dengan sejuknya sepoi angin dipuncak gunung yang membuat kita selalu rindu untuk kembali.

Dramaga 30 November 2014   


[1] Kawasan Rawan Bencana Papandayan Propinsi Jawa Barat, data peta Rawan Bencana tahun 1998   http://geospasial.bnpb.go.id/wp-content/uploads/2011/08/krb_papandayan.pdf
[3] Pinus merkusii
[4]  Vaccinium varingiaefolium

WE'RE MAKING ANOTHER OPEN TRIP Contact me:
email : sarahagustio@gmail.com
 IG     : @sarahceae
Cp       : WA/Line 081255567264

Komentar